Gambar ini saya dapat dari postingan seorang teman: NiNing AndiNi Ning RamadhaNi, di jagad maya. Di kampung saya, Kajang, Bulukumba, wadah ini disebut 'kamboti.' Sewaktu kecil, saya sering melihat digunakan sebagai tempat bertelur ayam. Biasanya digantung di bawah rumah. Rumah tradisional di kampung kami, layaknya kebanyakan rumah Bugis Makassar, berbentuk panggung. Antara kolong (siring) dan lantai rumah itulah 'kamboti' disangkutkan. Untuk ukuran yang lebih besar dan panjang, kerap dijadikan tempat menaruh dan mengangkut jagung yang baru saja dipanen. Dari kebun (lahan jagung) ke rumah, jagung dalam wadah 'kamboti' ini diangkut dengan kuda. Proses pengangkutannya disebut 'teke'.
Kemajuan mendatangi kampung kami. Wadah-wadah berkembang. Bahan-bahannya kian canggih. Kain, plastik, kulit, dll menggantikan bahan-bahan alami. Ia juga dibikin di tempat lain, tempat-tempat jauh. Tempat yang tidak mereka kenal, begitu juga saya. Inilah yang tetangga sering sebut sebagai globalisasi. Pembuatnya tentu sama sekali tidak dikenal juga. Kami sudah maju.
Rumah panggung nyaris tidak ada lagi. Jika sempat mudik, kampung kami sudah ramai. Banyak warga yang saya tidak kenal. Tentu mereka juga tidak kenal saya. Tapi saya senang, kampung kami ramai. Dan, tentu saja, tetap ramah.
Kembali soal 'kamboti' tadi. Ketika saya melihat gambar ini, beberapa sempat terlintas dalam benak saya. Obsesi pada merk, sebagai dampak 'kemajuan' tadi, jelas tampak begitu kuat. Itu wajar. Gaya konsumsi kita sulit menghindar dari serbuan semacam itu. Saya tak mau berbicara bagian itu. Itu bisa panjang. Benak lain saya juga begini.
Pengetahuan dan teknologi tradisional seharusnya menjadi perhatian kita: masyarakat, dan terutama pemerintah daerah (pemda). Saya kira, dengan memilih bahan yang kuat, awet, dan tetap dari alam, ini bisa jadi kerajinan berharga. Bukankah kita sudah mengenal cara semacam ini di tempat lain, misalnya Papua, Maluku, dll. Nilai tradisional dan kekhasannya menjadikannya bisa bernilai tinggi, asal dikelola dengan baik.
Di Bulukumba ada banyak tempat wisata alam. Di sana kerajinan tradisional bisa dipamerkan, dijual. Jangan hanya souvenir-souvenir serupa perahu pinisi saja. Pemda harus mendorong ini. Masyarakat juga mesti mendukungnya. Tentu bukan 'kamboti' dalam bentuknya yang asli kayak tadi. Perlu penganekaragaman model ataupun bahannya sehingga tidak hanya unik dan menarik, tapi juga fungsional.
Pasti ada banyak lagi yang bisa dilakukan. Majulah Bulukumba, sejahteralah Indonesia.
Orang Kajang di Ternate, 22 Maret 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar