Hari ini saya berjumpa dengannya. Sebenarnya, hampir berjumpa. Di sebuah mall di Makassar, mataku tak sengaja melihatnya dari belakang. Saya mengenal baik punggungnya, begitu juga helaian rambutnya. Langkahnya masih sama dulu, datar dan yakin. Semua masih lekat dalam ingatakanku. Lebih gemuk dari sebelumnya, perawakannya tetap merangkul pesona. Ia berbelok ke kiri, saya mengikutinya. Langkahku semakin cepat, tak sabar menepuk bahunya dan membiarkannya terperangah sebab perjumpaan tak terduga dan berselang lama ini.
Memilih barang yang menariknya, saya punya kesempatan mencapainya. Ia masih saja tak gubris dengan sekeliling, meski jarakku dengannya tidak lebih dari sejengkal. Ia terlalu seriis dengan barang pajangan di toko itu. Akh, parfumnya masih sama dulu. Wanginya saya hapal betul. Rasanya tak tahan hendak memeluknya erat. Ia yang dulu menyemai rasa di hatiku. Tiga tahun bersemi, hari-hari kala itu bagai berlari, begitu cepat.
***
"Jika kamu sudah menyukai orang lain, selain saya, akui dan jalanilah. Meski saya keberatan, tapi apalah dayaku memghalangimu. Kamu berhak memilih, seperti saya yang tak kuasa menahanmu." Kataku dengan hati getir.
Ia tak berkata apapun. Kata-kataku tak disangkal, meski saya sangat berharap ia membantah - cara kekasih yang hendak meninggalkan agar rasa bersalahnya sedikit tawar. Ia tetap diam. Hanya matanya yang berbicara banyak. Menembus pikiranku.
"Mungkin bukan saya yang terbaik atau kau harapkan. Sejauh ini, saya hanya berbuat yang terbaik. Kau minta, saya berikan. Kamu mau, saya menurut. Asal kamu tahu, tak semua yang saya lakukan memang benar-benar saya inginkan. Kadang saya melakukannya sebab tak mau membuatmu tidak nyaman. Saya bukannya munafik, seba pada akhirnya saya senang juga dengan apapun yang kita lakukan." Saya melanjutkan bicaraku.
Sedikit demi sedikit kubilang saja semua yang mau kukatakan. Hati kecilku sangat kuat untuk tetap menahannya dalam cinta kami. Saya seolah ikhlas melepasnya pergi. Tapi, benarkah kita yang mencintai ikhlas serela-relanya hati tanpa secuilpun pamrih mempertahankannya?
"Baiklah, saya minta maaf. Apapun yang kamu dengar tentang saya, memang begitulah yang terjadi. Dua bulan teralhir ini kami semakin intim. Dua malam minggu sebelumnya, yang kerap kamu tanyakan itu, saya bersamanya. Kami menginap bersama, berbincang sepanjang malam. Bagaimana saya bisa mengatakannya dengan tepat. Meski kuakui saya dengannya, tapi saya masih tetap mencintaimu. Saya tak bisa mengukurnya, bahkan andaikan cinta benar bisa dibagi-bagi. Kau persoalkan tubuh, akh apalah bedanya! Itu hanya soal wadah saja. Jiwa kita yang tetap terpautlah yang penting." Ia menoleh kepada minumannya. Ia minum setelah sejenak memain-mainkan sedotannya.
Saya paling benci jika ia sudah mulai berfilsafat. Ia pasti punya banyak pembenaran atas lakunya. Filsafat, akh, saya juga tidak tahu filsafat macam itu. Bagi saya, jika sesuatu pembicaraan sudah membingungkan, sudah mulai bicara hal-hal abstrak, saya anggap saja itu sudah "filsafat." Dan kalau sudah behitu, selalu saya tak bisa menampiknya lagi. Begitu juga dulu waktu ia membawa cinta ke arah malam yang nakal. Satu-satunya yang kuingat setelah malam itu adalah bahwa saya menjalaninya dengan yakin, dalam, dan pengagungan cinta melampaui penciptanya sendiri. Cinta yang hakiki, katanya. Sejak itulah malam-malam kami, bahkan tak jarang di siang hari, di indekostku, cinta "hakiki" terus kami reguk.
Ia menggeser gelas di depannya, seolah memberi ruang untuk dirinya sendiri. Kami duduk berhadapan. Hela nafasnya tampak begitu berat.
"Kita sudah melalui banyak hal. Kita senang, tapi juga pernah bertengkar. Sejujurnya, saya senang sekali. Tapi kamu tahu, kadang kita harus memutuskan hal sulit dalam hidup untuk kehidupan selanjutnya itu sendiri. Saya mau bilang kalau kita akhiri saja hubungan ini. Bagaimana pun, kamu juga sudah tidak mempercayaiku ..."
***
Hanya itu yang bisa kuingat saat hubungan kami di tubir masa kala itu. Akh, sudahlah. Biarkan saja. Kini, ia ada di depanku dengan wanginya yang setia. Jemari dan lengannya tak banyak berubah, kecuali sedikit berotot. Mungkin ia ikut gym. Ia juga masih mengenakan jam tangan pemberianku saat ia berulang tahun dulu. Apakah ia masih menginginkanku? Apakah ia sudah berpisah dengan dia yang membuat kami putus? Akh!
"Sudah sampai di mana?" Suara penuh harap itu terdengar di ujung sana. Saya menerima panggilannya setelah hapeku bergetar diam beberapa saat. "Sudah selesai belanjanya, Sayang? Nih, anak-anak juga sudah pada bangun. Mereka menanyakanmu." Suara lelaki di hapeku ini selalu membuatku ingin segera tiba di rumah, kapanpun ia meminta dan mencariku. Lembut dan penuh kasih, selalu mengalirkan kata-katanya dengan tatapannya yang melumatkan seluruh rasaku.
Aku bergegas melangkah keluar dari toko itu. Rengek manja anak-anak dan sapaan mesra suamiku seperti memanggil-manggil segera kembali.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar