Cerita, kisah, itu juga bisa menjadi semacam jalan tapak di batinmu untuk kembali ke kampung halamanmu. Dan, syukurnya teknologi bikin perjumpaan tak harus benar-benar berjumpa, untuk sekadar bercerita. Maka, pantaslah saya menuliskannya di sini, setelah tuturanmu yang campur aduk itu.
***
Jalan tanah becek kala hujan. Jejak sapi atau kerbau ternak warga kampung jelas menancap lumpur. Pohon rimbun kibaskan angin. Sejuknya mengalir. Sapa santun dan sikap tabik didapatkan dari warga tatkala berpapasan. Tak perlu membeli buah-buahan dari mereka jika ada yang disukai. Cukup memintanya, mereka akan memberikannya. Berlantaikan bilah bambu yang dijalin dengan rautan rotan, dijamulah kita di rumah mereka. Dinding rumah dari papan seadanya. Asal raga terlindungi dari terbukanya alam dan tak terlihat oleh orang lain dari luar, cukuplah itu sebagai rumah. Meski begitu, berbaik-baiklah sebaik mungkin kepada semua orang: anak-anak, orang tua, laki-laki, perempuan, kaya, miskin, pejabat, rakyat jelata, pejabat, perampok, dll, sebab merekalah jembatan kita menjalani kehidupan sekarang dan kelak di kehidupan yang lain. Tak perlu mewah, sekadarnya saja, bersahaja, hidup di dunia ini. Berlimpah sekarang, kehidupan berikut serba-kekurangan, jika bukan siksa. Begitulah mereka memandang dan menjalani kehidupan sekarang dan untuk nanti. Kamase-mase, filosofi hidup tentang kebersahajaan dalam pandangan dan praktik orang Kajang. 'Ammatoa' adalah pemimpin di komunitas ini, terutama menyangkut adat istiadat dalam kehidupan sosial kemasyarakatannya. Itulah sekelumit: lingkungan alam dan budaya, orang Kajang yang bisa saya tuliskan di sini.
Saya juga berasal dari sana, Kajang, meski hanya menumpang pada ke-kajang-annya sebagai kecamatan: Kecamatan Kajang. Kajang yang saya bicarakan di awal adalah kajang yang sesungguhnya. Mereka juga kerap digambarkan, oleh orang luar, dengan cara yang lain.
"Orang Kajang gemar berpakaian hitam. Baju, celana, dan kain di kepala semuanya berwarna hitam. Ilmunya tinggi. Maksudnya, perihal ilmu supranatural. 'Baca-baca' atau 'doti', begitulah disebutnya. Tak mempan senjata tajam. Kebal. Bisa menghilang dari pandangan kasat mata. Berselisih atau menyinggung harga dirinya, 'doti' melayang. Sakit atau bahkan hingga mati, menjadi akibat yang mesti ditanggung, jika tak bertemu dengan pengobatnya. Tentu saja ia mesti menguasai ilmu serupa juga. Kepala melembek atau kematian tanpa penyebab jelas, adalah dugaan awal, meski kuat, terkenanya seseorang oleh mantra itu. Mereka ganas, terpencil, menutup diri, dan menolak kemajuan (teknologi, misalnya listrik) demi mempertahankan cara hidup yang diyakininya, hidup yang bersahaja."
Tentu sangat banyak yang bisa digambarkan tentang mereka, seluas dan serumit cara pandang dan praktik hidupnya. Tidak semua gambaran, oleh orang luar, tentang mereka itu benar. Bahkan, ada banyak gambaran yang disematkan pihak lain, benar-benar tidak-benar adanya. Itu malah meminggirkan keagungan mereka di tengah serbuan kehidupan pragmatis, senang memanfaatkan kesempatan atau jabatan, kemunafikan, gemar pamer, menerabas, dan banyak lagi kegilaan zaman ini. Saya tak menyumpahi zamannya, tapi saya mengutuki kita yang menanggapi zaman dengan cara-cara tak tepat. Itulah sebabnya kadang saya mengutuki diri juga.
**
Dikenal 'berilmu tinggi' tidak sedikit orang yang takut kepada orang Kajang. Tentu saja mereka mendapatkan pengetahuan yang kurang memadai tentang mereka. Saya punya satu pengalaman sebagai orang Kajang dalam pandangan 'orang luar'.
Sebut saja Dian, bukan Dian sesungguhnya. Rambutnya sedikit ikal bertengger di atas mata indahnya. Kulitnya kuning tak kalah dengan sawo yang sedang matang-matangnya. Kalau tersenyum, wajahnya benar-benar berbinar. Giginya memang tak rapi, meski itu malah membuatnya makin manis. Bicara perawakan, body, ia sungguh sentosa. Kalau berjalan, pinggulnya memang pantas ditatapi selayak hayal melambung tinggi. Saya tak malu memandanginya sebab memang hanya diam-diam. Kami sekelas di SMA. Tulisannya tangannya rapi. PR-nya selalu kelar dari rumah, namanya juga Pekerjaan Rumah. Tidak juga, sebab ada yang mengerjakannya nanti di sekolah ketika pagi-pagi sekali, sebelum lonceng masuk kelas berdenting. Saya juga biasa begitu. Karena duduk di bangku sebelahnya, makanya saya tahu persis keindahan tulisannya. Meski begitu, Dian termasuk siswa yang pendiam, bahkan pemalu (bukan pemakan lumut!). Intinya, Dian adalah siswa yang memikat. Sayalah yang paling terpesona olehnya kira-kira.
Tak kuat menampik gelora, cinta, atau katakanlah begitu, saya mengutarakan rasa. Saya menyukaimu! Singkat saya menyatakannya. Tanpa kata, tiada tanggapan menggembirakan, ia berlalu. Ia memang tampaknya tak mau, atau belum mau, berpacaran saat itu. Saya sendiri hendak menjadikannya cinta pertama jika ia sepakat melangkah bersama.
Dian, yang pemalu itu, selalu menarik sebagian besar rasa kagumku, bahkan ketika kami terpisah kelas. Ia mengambil Biologi, saya Fisika. Tapi itu bukan penghalang untuk rasa yang menumpuk-numpuk dan membuncah tatkala sosoknya Dian menguat. Hayalan dan kenyataan sering sama nyatanya. Itulah sebabnya kupanggil ia 'Dian.' Ikat rambut dari bahan berkaret lebih sering berwarna pink. Roknya abu-abu pudar, tidak seabu-abu rok atau celana SMA kebanyakan. Di atas betisnya yang putih, abu-abu tampak seksi. Saya jelas melihatnya begitu, meski ia sekadar melintas.
Tanpa jawaban, kami tamat. Masa sekolah SMU berakhir dengan kelulusan kami. Kuliah di universitas yang sama, kami tetap terpisah. Jurusan kami beda. Hingga sarjana, tetap begitu. Sesekali saya masih melihatnya. Itu pula menjadi jawaban atas pernyataan saya yang telah bertumpuk masa itu. Ia berjalan, dengan mesra pula, seorang lelaki lain. Dian berpacaran. Meski tak sampai patah hati, tapi saya jelas kecewa.
Terakhir, melalui akun media sosial, ia bertutur. Ia 'menjawab' yang dulu saya nyatakan. Sebenarnya ia tak mesti menjawab, sebab saya tidak bertanya. Ia sebenarnya sedang beralasan untuk apa yang ia telah lakukan.
"Sebenarnya saya juga menyukaimu. Hanya saja, waktu itu saya belum siap berpacaran. Manakala siap, saya justru berjumpa dengan lelaki lain. Saya tahu, kamu orang Kajang. Saya takut. Katanya orang Kajang senang 'membaca-bacai' orang lain. Memikat dengan mantra. Kalau salah paham, misalnya berpacaran lalu putus, bisa celaka sebab ilmu hitamnya. Ketika saya menceritakan tentangmu sebagai orang Kajang, sahabat-sahabat saya ngeri. Itulah makanya saya sering menghindar darimu, kala itu. Jika tidak, saya bisa menerimamu. Sebab saya juga menyukaimu."
Saya ragu dengan kebenaran tanggapannya yang datang setelah melintasi lapisan masa itu. Bahkan, jika benar sekali pun, apalah artinya. Tidak apa, sekarang kita memiliki kehidupan masing-masing.
Satu yang jelas tersisa setelah pengakuan Dian itu adalah alasannya yang menyebut saya sebagai orang Kajang, sekaligus menjadi penolakannya. Suatu cara pandang dan tanggapan yang benar-benar keliru. Saya lelaki baik, memiliki cinta murni, serius penuh, total seluruh, dan saya bisa menjamin setia tanpa syarat. Sebagai hasrat yang bergelora tulen, ia hadir semurni-murninya rasa. Memang tak mudah menjadi orang Kajang.
***
Semua berubah. Seiring waktu, beringsutlah kehidupan. Perkembangan meloso hingga ke pelosok. Orang Kajang melangkah maju. Atau, mereka yang dikunjungi kemajuan, dan terpaksa maju. Anak-anaknya bersekolah hingga tinggi. Ada pula yang sudah jadi pejabat, atau setidaknya menapak jalan menuju ke kepejabatan. Karena itu, gambaran tentang mereka, sebagai di awal, mungkin sudah tak banyak lagi benarnya. Malah bisa jadi salah semuanya. Bahwa saya ditolak sebab disangka sebagai orang Kajang sesungguhnya (oleh Dian yang bukan sesungguhnya!) itu memang sungguh-sungguh sangat benar adanya.
***
Malam kian larut. Kamis malam berlalu ke Jumat. Kawan, ceritamu mengenangkanku pada pengalamanku sendiri. Kita memang orang Kajang, meski tak sepenuh-penuhnya. Di seberang sini, ceritamu mengantarkanku pada kampung dan orang-orang di sana. Saya merindukan semuanya. Sampai jumpa di kampung!
***
Ternate, 4 Maret 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar