Absurd
***
Sudah berhari-hari ingin kutuliskan apa saja tentangmu. Iya, apa saja. Tapi selalu saja terhenti pada pilihan kata mana yang tepat yang bisa memulai pembicaraan itu. Sulit! Selalu saja tidak ada yang pas benar mewakili apa yang sungguh ingin kukatakan. Rasanya kata memang selalu terbatas untuk sekadar melukiskan sedikit saja tentangmu, apa adanya. Kata, katanya, memang mendistorsi kenyataan. Saya takut jika menghadirkan kenyataan lain melalui kata yang tak tepat sebagai penyebabnya. Kamu, dan kata yg mungkin tak mewakilimu adalah dua kenyataan yg bisa saja menghadirkanmu bersamaan. Saya sungguh tak mau melukaimu dengan ketaktepatan sang kata-kata.
Saya pernah mencoba tentang gambaran tubuhmu yang memesonaiku itu, mungkin juga pada orang sebangsaku. Yang paling mudah kulukiskan adalah wajahmu. Rupamu bulat dengan dagu sedikit runcing. Bibirmu tipis, meski tetap penuh. Ia mengulum gigi-gigimu yang rapi itu. Matamu tak bulat penuh, tapi jelas lingkarannya tak pipih. Jika tersenyum, cahaya matamu memancar dan berbinarlah dunia. Alismu indah. Para pemuja dalam gambarannya mengandaikannya dengan semut beriring. Lehermu, berjenjang. Begitu yg biasa kubaca tentang leher indah dari novel-novel remaja.
Ke bawah sedikit dari wajahmu, melampaui lehermu, akh! Jejerannya mendesirkan dada. Bukan soal besar atau kecil. Ini tentang keserasian yg sungguh padu. Membayangkan buah di pekaranganku, ranumnya memang menggoda. Kuning mengilap bergelantungan di sana, tentu saja karena ia dirawat baik. Airnya cukup, matahari menyinarinya tak lebih dan tak kurang. Pas! Begitu juga, denganmu, pasti karena semua terawat baik. Maka paslah ia dalam kodrat ukuran dan benruknya sendiri.
Jika kamu berjalan, rasanya ingin segera mendekatimu. Ikut berjalan di sisimu. Menggandeng tanganmu, atau menggamit bahumu. Mesranya kita! Atau dengan sedikit keberanian, sebelah tanganku setengah melingkari pinggang rampingmu. Sekarang sedikit gemuk, kau tetap saja melambungkan hayal-hayal semacam itu. Kau memang tak bisa diingkari!
Saya pernah ingin sekali melukiskanmu begitu. Tapi kuhapus lagi. Tidak pas! Lalu kucoba sekali lagi, tetap saja terasa tidak cocok. Selesai kubaca, kubiarkan saja teronggok di sana. Catatan yang tak tuntas. Itu yang terlintas saat tak sengaja menemukannya di antara tumpukan catatan-catatan usangku.
Lalu saya mencoba cara lain melukiskanmu. Caraku mungkin terlalu subjektif (rasa memang selalu subjektif!). Berlebihan. Maka kucoba memakai pandangan kawanku. Mirip mewawancarainya, kami pun berbincang. Kopi dituang, rokok disulut. Berikutnya, sosokmulah yang mengepul-ngepul dalam pekatnya udara malam itu.
Entah kenapa, selalu saja tentang tubuh sebelum menembus bagian terdalam seseorang dalam menghadirkan kesannya. Wajar, sebab sedalam apakah hati, tak bisa ditakar dengan hanya memandang-mandangnya saja. Masuk ke dalam hati, haruslah melintasi tubuh. Bukannya dangkal, atau merendahkan sang tubuh, malah membuatnya mulia dengan memberi posisi penting: medium. Katanya, tubuh, sebagai 'bentuk' juga turut memberi bentuk pada 'isi' itu sendiri. Paling tidak, mulutnya yang berujar, matanya yang memandang, dan keseriusannya mengucapkan sesuatu dapat dilihat dari bagaimana tubuhnya berekspresi. Itulah sebabnya tubuh juga tak jarang menjadi persinggahan dalam perjalanan menuju kedalaman hati seseorang. Sayangnya, ada yang berhenti sebelum sang hati benar-benar terkecapi. Ada pun yang berhasil sampai di sana, ia gagal membujuk hatinya sendiri untuk betah sebelum kejenuhan mengalahkannya. Teman saya berpanjang-lebar sebelum menelanjangi pandangannya sendiri.
***
Hujan menderas. Bertempias air menjangkau meja kursi - di atasnya ada gelas kopi - manakala saya siap mendengar penuturannya, tentangmu. Tapi, gagal lagi. Hujan terlalu deras. Suara kami tenggelam dalam rinai yang kian menderas menjadi hujan hebat. Saya tak mendapatkan ceritanya tentangmu, setidaknya malam itu. Bersama larut malam, kala itu, sosokmu menyublim bersama kesunyian yang basah itu.
Tiga jam berlalu. Tak ada apa-apa, tidak ada siapa-siapa. Sambil mengucek mata, saya melangkah ke kamar mandi. Masih juga sama dengan yang kemarin yang kujumpai.
"Jangko mengarang-ngarang deh...!" Katanu.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar