Masih lekat terbayang, jika bukan mengiang, harapan dua orang ibu dalam perbincangan kemarin malam. Kepala desa menggelar pertemuan melibatkan warganya. Usai pertemuan itu, kami berbincang. Mereka menceritakan tentang anaknya yang kini sedang kuliah.
Biaya kuliah anaknya ditanggungnya sendiri. Keduanya sudah bercerai. Biaya anak-anak semuanya menjadi kewajibannya sebagai seorang ibu. Ia berusaha sebaik-baik mungkin menunaikan tanggung jawabnya sebagai orang tua. Keduanya mengandalkan hasil kebun untuk membiayai kuliah anak-anaknya. Kelapa (kopra) adalah sumber utama penghidupan keluarganya. Ada juga hasil tanaman bulanan serupa sayuran atau umbi-umbian yang jumlahnya tak seberapa.
Memang sulit, tapi semua harus diusahakan, dipenuhi. Anak-anaknya menginginkan kuliah, meski ia sudah memperingatkan karena masalah biaya. Jika kelapa usai dipanen, sedikit saja ia sisihkan dari hasil penjualannya. Sebagian besarnya dikirimkan kepada anaknya yang kuliah di kota. Biaya buku, makan minum, indekost, dll untuk anaknya harus dipenuhi. Jika kebetulan sedang tak ada uang yang siap, ia mengutang dulu. Semuanya untuk anak-anak.
Di balik itu, ada harapan tersematkan. Kelak ketika anaknya sukses menyelesaikan kuliah, ia memiliki satu harapan kuat. Anaknya bisa jadi guru! Jurusan anaknya, begitu ia bilang, masih kurang di kampungnya. Kelak ia bisa mengajar di SMA.
Baru-baru ini anaknya mengabari. IPK anaknya menurun dari semester sebelumnya. Alasannya, gara-gara seorang dosen memberinya nilai rendah. Dosen, akh dosen... Selain itu, kata anaknya, karena belum punya laptop. Tanpa laptop, tugas-tugas tak bisa dikerjakan dengan baik. Begitu anaknya bilang kepada ibunya, sebagai ia menutur-ulangkan kepada saya. Oh, laptop...
Sang ibu mendengarkan alasan anaknya, memenuhi permintaan, sembari merawat harapan. Kelak anak-anaknya bisa menghibur dirinya dengan bekerja sebagai guru, PNS. Di Halmahera masih kekurangan guru. Ia meyakininya begitu, sekokoh peluang anaknya bisa mencapai harapannya.
Malam melarut, kerut di wajahnya membentang beban sekaligus menggurat harapan. Ibu dan anak dipautkan satu asa serupa, meski tak sama dalam menghayatinya. Ibu mengupayakan terbaik dan membalurinya doa-doa, anak berkilah.
Ibu-ibu (kita) memang tak diragukan ketegarannya. Mereka kuat. Bahkan, ketika kita dengan sadar memberinya alasan-alasan mengada-ada untuk sesuatu yang diada-adakan oleh anaknya yang ia adakan itu. Akh, ibu...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar