Rabu, 25 Mei 2016

Kesaksian

Lelaki dan perempuan renta. Sekilas laki-laki itu tampak sangar: kumis, jaket kumal, jins belel, kekar, gelang dan kalung besi besar, cincin berpermata besar-besar, kulitnya sedikit hitam.

Sementara perempuan tua itu, berpakaian khasnya ibu-ibu tua di kampung pada umumnya. Sebuah kain, serupa sarung, yg tampak lusuh menggembol bawaannya. Ada juga tas, yang juga kusam, untuk bawaan lainnya. Jari-jari kaki yang melewati ujung depan sandalnya terlihat kokoh mencengkeram. Kukunya juga jelas terlihat akrab dengan lumpur. Ia memakai sandal yang tak biasa dikenakannya, andaipun bersandal di waktu dan tempat lain. Ia hendak terbang ke Halmahera, wilayah yang berjuluk "Pulau Panjang" itu. Menyaksikan itu, benak saya sontak membayangkan ibu sendiri nun jauh di sana!

Ada yang langka, jarang-jarang saya saksikan dalam situasi semacam ini, dari orang seperti mereka. Laki-laki itu dengan (tampak) tulus menuntun si ibu. Mulai dari meninggalkan ruang tunggu hingga ke bis yang mengantarkan penumpang untuk tiba ke pesawat. Sebagai anak, andaikan begitu, maka apapun yg dilakukannya bukan hanya wajar, melainkan mutlak. Tapi melihat penampilannya, yg secara fisik tadi 'sangar', menjadi terkesan kontras. Ini asumsi saya saja. Kita belum tentu sepakat antara penampilan dan wujud perilaku atau tindakan seseorang.

Keduanya tampak senang menjajali tangga turun, menunggui bis, hingga naik bis. Tidak ceria berlebihan juga. Semacam kebahagiaan yang matang. Saat di dalam bis, di mana nyaris semua orang berdiri saja, saya masih memerhatikannya. Senyum senang sang ibu tergurat kuat. Bahagia terpancar dari rautnya. Lelaki itu, tetap tenang. Sesekali senyum, menyertai senyuman ibunya. Kadang seolah hendak meraih tangan sang ibu, atau sekadar menyentuhnya. Ada kasih sayang di genggaman mereka.

Andai lelaki itu benar-benar anak sang ibu itu, dapat saya baca betapa bahagia keduanya. Ibu senang dengan perlakuan anaknya, meski seringkali ibu tak menuntutnya begitu. Anak luar biasa bahagia sebab persembahan tak ternilai terhadap perempuan yang membawa rahim dimana ia pernah memulai tahap awal kehidupan. Ia bukanlah anak-ibu Malin Kundang.

***

Ketulusan dan pengabdian seseorang memang tak berhubungan dengan paras. Tanpa menghina tubuh, keurakan seseorang acapkali menjauhkannya dari orang-orang yang merasa baik dan mulia. Saya tahu, Anda, teman saya yang baik, bukan golongan dengan cara berpikir-tindak semacam ini.

***

Begitulah setiap kali ada perjalanan, ada saja kesaksian yang menggugah kekaguman. Tentu rupa-rupa kejadian sebaliknya tak luput pula. Mungkin menjengkelkan. Dan dari setiap kesaksian, sesaat setelah itu hingga lama setelahnya, refleksi mengantarkan renungan. Itulah sebabnya saya kadang menghayati beberapa perjalanan sebagai kehidupan itu sendiri. Di sanalah cermin kehidupan dibentuk melalui kelaziman hari-hari. Di sana pulalah membentang ragam kebajikan, dan sebaliknya, untuk menjadi cermin diri. Tanpa meremehkan peran bapak/ayah, saya wajar merindui ibu sebab pengabdian yang terlalu sedikit untuk disebut cukup. Seseorang bisa saja tak beragama atau tak bertuhan sekalipun, tapi kita semua punya ibu.

Halmahera, 24 Mei 2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Curah Gagasan a la FIB Unkhair

*** Banyak yang Harus Dilakukan (Catatan dari ‘Bacalefo’ Ormawa FIB) *** Kebajikan mesti dikabarkan agar tetap bisa ditularkan...