Kematian
Tujuh hari lalu, kematian datang menyambangi tiga rumah dari tempat saya bernaung. Almarhumah, sang meninggal, adalah seorang ibu yamg ramah, senang mengobrol walau saya hanya berbelanja sebungkus rokok atau keperluan lainnya yang ia siapkan di warungnya.
Tujuh hari telah berlalu, sirine ambulans mengiang di kompleks kami. Suaranya membelah keheningan sore menjelang petang kala itu. "Siapakah yang meninggal?" Seseorang dari kami bertanya-tanya sebelum akhirnya tahu bahwa dialah alamarhumah, ibunda dari Pak Asep Gunawan.
Keramahan almarhumah kembali mencuat. Bayangan rautnya menguat. Terlintas senyuman dan sapaannya yang intim, hangat, dan selalu ada bahan obrolan walau sesingkat apapun perjumpaan. Setelah kematian, keramahan dikenangkan betapapun sepinya menyelubung sukma. Menerima kematian, kehidupan dihayati bersama kenangan yang menyertainya. Persinggungan dengan orang-orang sekitar, entah sekali atau intim, selama hidup, serupa jalan kembali di sisi kematian yang membawa pergi. Begitulah sehingga kematian memang hanya serupa tahapan perjalanan sang jiwa menuju jenjang lainnya. Ke tempat yang layaklah pada akhirnya arwah, jiwa, roh, didoakan mencapai ketenangannya. Begitu pulalah saya berdoa untuk almarhumah.
Tujuh hari sejak hari kematian almarhum, kami berkumpul di sini. Tetangga, sanak saudara, sahabat, kenalan, dll berkumpul sembari merapalkan doa, menggumamkan ayat-ayat Allah, memuja nama-Nya. Semuanya untuk satu pengharapan, keselamatan dan kedamaian untuk almarhumah di alamnya yang lain. Di sini, kami tenang khusyu - meski beberapa sibuk mengobrol juga, termasuk saya yang khusyu mengetik ini - meresapi kesadaran bahwa hidup pada akhirnya niscaya berjumpa dengan sang mati. Kematian hanyalah sebentuk kehidupan yang lain yang mutlak bagi mereka yang hidup.
Selamat jalan almarhumah. Tak ada lagi sapa dan obrolan hangat darimu kala saya berbelanja. Saya, mereka, kami semua mendoakanmu, sebaik-baiknya doa.
Ternate, Tahlilan Dina Kematian Hari Ketujuh, 17 Feb 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar