Rabu, 25 Mei 2016

Kesaksian

Lelaki dan perempuan renta. Sekilas laki-laki itu tampak sangar: kumis, jaket kumal, jins belel, kekar, gelang dan kalung besi besar, cincin berpermata besar-besar, kulitnya sedikit hitam.

Sementara perempuan tua itu, berpakaian khasnya ibu-ibu tua di kampung pada umumnya. Sebuah kain, serupa sarung, yg tampak lusuh menggembol bawaannya. Ada juga tas, yang juga kusam, untuk bawaan lainnya. Jari-jari kaki yang melewati ujung depan sandalnya terlihat kokoh mencengkeram. Kukunya juga jelas terlihat akrab dengan lumpur. Ia memakai sandal yang tak biasa dikenakannya, andaipun bersandal di waktu dan tempat lain. Ia hendak terbang ke Halmahera, wilayah yang berjuluk "Pulau Panjang" itu. Menyaksikan itu, benak saya sontak membayangkan ibu sendiri nun jauh di sana!

Ada yang langka, jarang-jarang saya saksikan dalam situasi semacam ini, dari orang seperti mereka. Laki-laki itu dengan (tampak) tulus menuntun si ibu. Mulai dari meninggalkan ruang tunggu hingga ke bis yang mengantarkan penumpang untuk tiba ke pesawat. Sebagai anak, andaikan begitu, maka apapun yg dilakukannya bukan hanya wajar, melainkan mutlak. Tapi melihat penampilannya, yg secara fisik tadi 'sangar', menjadi terkesan kontras. Ini asumsi saya saja. Kita belum tentu sepakat antara penampilan dan wujud perilaku atau tindakan seseorang.

Keduanya tampak senang menjajali tangga turun, menunggui bis, hingga naik bis. Tidak ceria berlebihan juga. Semacam kebahagiaan yang matang. Saat di dalam bis, di mana nyaris semua orang berdiri saja, saya masih memerhatikannya. Senyum senang sang ibu tergurat kuat. Bahagia terpancar dari rautnya. Lelaki itu, tetap tenang. Sesekali senyum, menyertai senyuman ibunya. Kadang seolah hendak meraih tangan sang ibu, atau sekadar menyentuhnya. Ada kasih sayang di genggaman mereka.

Andai lelaki itu benar-benar anak sang ibu itu, dapat saya baca betapa bahagia keduanya. Ibu senang dengan perlakuan anaknya, meski seringkali ibu tak menuntutnya begitu. Anak luar biasa bahagia sebab persembahan tak ternilai terhadap perempuan yang membawa rahim dimana ia pernah memulai tahap awal kehidupan. Ia bukanlah anak-ibu Malin Kundang.

***

Ketulusan dan pengabdian seseorang memang tak berhubungan dengan paras. Tanpa menghina tubuh, keurakan seseorang acapkali menjauhkannya dari orang-orang yang merasa baik dan mulia. Saya tahu, Anda, teman saya yang baik, bukan golongan dengan cara berpikir-tindak semacam ini.

***

Begitulah setiap kali ada perjalanan, ada saja kesaksian yang menggugah kekaguman. Tentu rupa-rupa kejadian sebaliknya tak luput pula. Mungkin menjengkelkan. Dan dari setiap kesaksian, sesaat setelah itu hingga lama setelahnya, refleksi mengantarkan renungan. Itulah sebabnya saya kadang menghayati beberapa perjalanan sebagai kehidupan itu sendiri. Di sanalah cermin kehidupan dibentuk melalui kelaziman hari-hari. Di sana pulalah membentang ragam kebajikan, dan sebaliknya, untuk menjadi cermin diri. Tanpa meremehkan peran bapak/ayah, saya wajar merindui ibu sebab pengabdian yang terlalu sedikit untuk disebut cukup. Seseorang bisa saja tak beragama atau tak bertuhan sekalipun, tapi kita semua punya ibu.

Halmahera, 24 Mei 2016.

Selasa, 22 Maret 2016

Kamboti

Gambar ini saya dapat dari postingan seorang teman: NiNing AndiNi Ning RamadhaNi, di jagad maya. Di kampung saya, Kajang, Bulukumba, wadah ini disebut 'kamboti.' Sewaktu kecil, saya sering melihat digunakan sebagai tempat bertelur ayam. Biasanya digantung di bawah rumah. Rumah tradisional di kampung kami, layaknya kebanyakan rumah Bugis Makassar, berbentuk panggung. Antara kolong (siring) dan lantai rumah itulah 'kamboti' disangkutkan. Untuk ukuran yang lebih besar dan panjang, kerap dijadikan tempat menaruh dan mengangkut jagung yang baru saja dipanen. Dari kebun (lahan jagung) ke rumah, jagung dalam wadah 'kamboti' ini diangkut dengan kuda. Proses pengangkutannya disebut 'teke'.

Kemajuan mendatangi kampung kami. Wadah-wadah berkembang. Bahan-bahannya kian canggih. Kain, plastik, kulit, dll menggantikan bahan-bahan alami. Ia juga dibikin di tempat lain, tempat-tempat jauh. Tempat yang  tidak mereka kenal, begitu juga saya. Inilah yang tetangga sering sebut sebagai globalisasi. Pembuatnya tentu sama sekali tidak dikenal juga. Kami sudah maju.

Rumah panggung nyaris tidak ada lagi. Jika sempat mudik, kampung kami sudah ramai. Banyak warga yang saya tidak kenal. Tentu mereka juga tidak kenal saya. Tapi saya senang, kampung kami ramai. Dan, tentu saja, tetap ramah.

Kembali soal 'kamboti' tadi. Ketika saya melihat gambar ini, beberapa sempat terlintas dalam benak saya. Obsesi pada merk, sebagai dampak 'kemajuan' tadi,  jelas tampak begitu kuat. Itu wajar. Gaya konsumsi kita sulit menghindar dari serbuan semacam itu. Saya tak mau berbicara bagian itu. Itu bisa panjang. Benak lain saya juga begini.

Pengetahuan dan teknologi tradisional seharusnya menjadi perhatian kita: masyarakat, dan terutama pemerintah daerah (pemda). Saya kira, dengan memilih bahan yang kuat, awet, dan tetap dari alam, ini bisa jadi kerajinan berharga. Bukankah kita sudah mengenal cara semacam ini di tempat lain, misalnya Papua, Maluku, dll. Nilai tradisional dan kekhasannya menjadikannya bisa bernilai tinggi, asal dikelola dengan baik.

Di Bulukumba ada banyak tempat wisata alam. Di sana kerajinan tradisional bisa dipamerkan, dijual. Jangan hanya souvenir-souvenir serupa perahu pinisi saja. Pemda harus mendorong ini. Masyarakat juga mesti mendukungnya. Tentu bukan 'kamboti' dalam bentuknya yang asli kayak tadi. Perlu penganekaragaman model ataupun bahannya sehingga tidak hanya unik dan menarik, tapi juga fungsional.

Pasti ada banyak lagi yang bisa dilakukan. Majulah Bulukumba, sejahteralah Indonesia.

Orang Kajang di Ternate, 22 Maret 2016

Minggu, 20 Maret 2016

Angin

Malam Ternate kali ini terasa dinginnya. Lebih dingin dari malam-malam sebelumnya. Entahlah.
Melepaskan pandang jauh ke bawah, hanya lampu-lampu kota yang kudapati.
Akh, terlalu dingin. Ideku hilang!

Ternate, 20/3/2016

Malam pertama

Malam dinanti takkan henti
dinginnya menyusupi sukma
tibalah kamu dalam pelukan
setelah embus angin pertama

Kelam di hati enggan pergi
ingin kututupi dengan nama
biarlah berlalu segala kenangan
oleh tembus luka cinta pertama

Inilah malam pertama
setelah penantian berharihari
tibalah jua sang purnama
dan cinta kita mekar bersama
pada jumpa berseriseri ini

Malam setelah luka lama
Jangan biarkan mati di hati.

Kamis, 17 Maret 2016

Biasa saja

Ribut-ribut soal politik, televisi selalu ada cara untuk mewartakan agar semua tampak rumit. Begitu juga media pewarta lainnya. Bahkan di media sosial juga, kita pun turut menimpalinya. Mulai dari Ahok, suami tembak istri, bupati pesta shabu, banjir, dst. Asal ada beberapa waktu duduk di depan tivi, rasanya negara ini persoalan melulu. Tapi begitulah. Jika mengabarkan hal biasa, itu bukan 'berita'. Itu ilmu lama yang saya pelajari dari pelatihan jurnalistik dasar dahulu.

Malam ini, cukuplah kita duduk di sini. Tertawa, mengenangkan hal-hal lucu - bisa jadi karena kecorobohan, keluguan, keisengan, kebodohan, dsj - sambil menatap kerlip lampu nun jauh di bawah sana. Ternate, berpucuk temaram di bawah sana. Tidore di seberang sana, lampunya bermain cahaya di bias lautan. Dan Halmahera, lebih jauh lagi dari pandangan, samar.

Di sinilah kita. Berbincang hal sederhana. Remeh temeh kehidupan. Lepas dari politik, bebas dari tivi. Tapi, tetap saja media sosial menggoda kita untuk melibatkannya dalam perjumpaan ini. Begitu pula kopi yang seruputannya menagih-nagih. Akh! Perlahan suara musik biarlah melatari kebersamaan nan sahaja ini.

Mari berbincang lagi!

Absurd

Absurd

***
Sudah berhari-hari ingin kutuliskan apa saja tentangmu. Iya, apa saja. Tapi selalu saja terhenti pada pilihan kata mana yang tepat yang bisa memulai pembicaraan itu. Sulit! Selalu saja tidak ada yang pas benar mewakili apa yang sungguh ingin kukatakan. Rasanya kata memang selalu terbatas untuk sekadar melukiskan sedikit saja tentangmu, apa adanya. Kata, katanya, memang mendistorsi kenyataan. Saya takut jika menghadirkan kenyataan lain melalui kata yang tak tepat sebagai penyebabnya. Kamu, dan kata yg mungkin tak mewakilimu adalah dua kenyataan yg bisa saja menghadirkanmu bersamaan. Saya sungguh tak mau melukaimu dengan ketaktepatan sang kata-kata.

Saya pernah mencoba tentang gambaran tubuhmu yang memesonaiku itu, mungkin juga pada orang sebangsaku. Yang paling mudah kulukiskan adalah wajahmu. Rupamu bulat dengan dagu sedikit runcing. Bibirmu tipis, meski tetap penuh. Ia mengulum gigi-gigimu yang rapi itu. Matamu tak bulat penuh, tapi jelas lingkarannya tak pipih. Jika tersenyum, cahaya matamu memancar dan berbinarlah dunia. Alismu indah. Para pemuja dalam gambarannya mengandaikannya dengan semut beriring. Lehermu, berjenjang. Begitu yg biasa kubaca tentang leher indah dari novel-novel remaja.

Ke bawah sedikit dari wajahmu, melampaui lehermu, akh! Jejerannya mendesirkan dada. Bukan soal besar atau kecil. Ini tentang keserasian yg sungguh padu. Membayangkan buah di pekaranganku, ranumnya memang menggoda. Kuning mengilap bergelantungan di sana, tentu saja karena ia dirawat baik. Airnya cukup, matahari menyinarinya tak lebih dan tak kurang. Pas! Begitu juga, denganmu, pasti karena semua terawat baik. Maka paslah ia dalam kodrat ukuran dan benruknya sendiri.

Jika kamu berjalan, rasanya ingin segera mendekatimu. Ikut berjalan di sisimu. Menggandeng tanganmu, atau menggamit bahumu. Mesranya kita! Atau dengan sedikit keberanian, sebelah tanganku setengah melingkari pinggang rampingmu. Sekarang sedikit gemuk, kau tetap saja melambungkan hayal-hayal semacam itu. Kau memang tak bisa diingkari!

Saya pernah ingin sekali melukiskanmu begitu. Tapi kuhapus lagi. Tidak pas! Lalu kucoba sekali lagi, tetap saja terasa tidak cocok. Selesai kubaca, kubiarkan saja teronggok di sana. Catatan yang tak tuntas. Itu yang terlintas saat tak sengaja menemukannya di antara tumpukan catatan-catatan usangku.

Lalu saya mencoba cara lain melukiskanmu. Caraku mungkin terlalu subjektif (rasa memang selalu subjektif!). Berlebihan. Maka kucoba memakai pandangan kawanku. Mirip mewawancarainya, kami pun berbincang. Kopi dituang, rokok disulut. Berikutnya, sosokmulah yang mengepul-ngepul dalam pekatnya udara malam itu.

Entah kenapa, selalu saja tentang tubuh sebelum menembus bagian terdalam seseorang dalam menghadirkan kesannya. Wajar, sebab sedalam apakah hati, tak bisa ditakar dengan hanya memandang-mandangnya saja. Masuk ke dalam hati, haruslah melintasi tubuh. Bukannya dangkal, atau merendahkan sang tubuh, malah membuatnya mulia dengan memberi posisi penting: medium. Katanya, tubuh, sebagai 'bentuk' juga turut memberi bentuk pada 'isi' itu sendiri.  Paling tidak, mulutnya yang berujar, matanya yang memandang, dan keseriusannya mengucapkan sesuatu dapat dilihat dari bagaimana tubuhnya berekspresi. Itulah sebabnya tubuh juga tak jarang menjadi persinggahan dalam perjalanan menuju kedalaman hati seseorang. Sayangnya, ada yang berhenti sebelum sang hati benar-benar terkecapi. Ada pun yang berhasil sampai di sana, ia gagal membujuk hatinya sendiri untuk betah sebelum kejenuhan mengalahkannya. Teman saya berpanjang-lebar sebelum menelanjangi pandangannya sendiri.

***

Hujan menderas. Bertempias air menjangkau meja kursi - di atasnya ada gelas kopi - manakala saya siap mendengar penuturannya, tentangmu. Tapi, gagal lagi. Hujan terlalu deras. Suara kami tenggelam dalam rinai yang kian menderas menjadi hujan hebat. Saya tak mendapatkan ceritanya tentangmu, setidaknya malam itu. Bersama larut malam, kala itu, sosokmu menyublim bersama kesunyian yang basah itu.

Tiga jam berlalu. Tak ada apa-apa, tidak ada siapa-siapa. Sambil mengucek mata, saya melangkah ke kamar mandi. Masih juga sama dengan yang kemarin yang kujumpai.

"Jangko mengarang-ngarang deh...!" Katanu.

***

Minggu, 06 Maret 2016

Bukan Perjumpaan


Hari ini saya berjumpa dengannya. Sebenarnya, hampir berjumpa. Di sebuah mall di Makassar, mataku tak sengaja melihatnya dari belakang. Saya mengenal baik punggungnya, begitu juga helaian rambutnya. Langkahnya masih sama dulu, datar dan yakin. Semua masih lekat dalam ingatakanku. Lebih gemuk dari sebelumnya, perawakannya tetap merangkul pesona. Ia berbelok ke kiri, saya mengikutinya. Langkahku semakin cepat, tak sabar menepuk bahunya dan membiarkannya terperangah sebab perjumpaan tak terduga dan berselang lama ini.

Memilih barang yang menariknya, saya punya kesempatan mencapainya. Ia masih saja tak gubris dengan sekeliling, meski jarakku dengannya tidak lebih dari sejengkal. Ia terlalu seriis dengan barang pajangan di toko itu. Akh, parfumnya masih sama dulu. Wanginya saya hapal betul. Rasanya tak tahan hendak memeluknya erat. Ia yang dulu menyemai rasa di hatiku. Tiga tahun bersemi, hari-hari kala itu bagai berlari, begitu cepat.

***

"Jika kamu sudah menyukai orang lain, selain saya, akui dan jalanilah. Meski saya keberatan, tapi apalah dayaku memghalangimu. Kamu berhak memilih, seperti saya yang tak kuasa menahanmu." Kataku dengan hati getir.

Ia tak berkata apapun. Kata-kataku tak disangkal, meski saya sangat berharap ia membantah - cara kekasih yang hendak meninggalkan agar rasa bersalahnya sedikit tawar. Ia tetap diam. Hanya matanya yang berbicara banyak. Menembus pikiranku.

"Mungkin bukan saya yang terbaik atau kau harapkan. Sejauh ini, saya hanya berbuat yang terbaik. Kau minta, saya berikan. Kamu mau, saya menurut. Asal kamu tahu, tak semua yang saya lakukan memang benar-benar saya inginkan. Kadang saya melakukannya sebab tak mau membuatmu tidak nyaman. Saya bukannya munafik, seba pada akhirnya saya senang juga dengan apapun yang kita lakukan." Saya melanjutkan bicaraku.

Sedikit demi sedikit kubilang saja semua yang mau kukatakan. Hati kecilku sangat kuat untuk tetap menahannya dalam cinta kami. Saya seolah ikhlas melepasnya pergi. Tapi, benarkah kita yang mencintai ikhlas serela-relanya hati tanpa secuilpun pamrih mempertahankannya?

"Baiklah, saya minta maaf. Apapun yang kamu dengar tentang saya, memang begitulah yang terjadi. Dua bulan teralhir ini kami semakin intim. Dua malam minggu sebelumnya, yang kerap kamu tanyakan itu, saya bersamanya. Kami menginap bersama, berbincang sepanjang malam. Bagaimana saya bisa mengatakannya dengan tepat. Meski kuakui saya dengannya, tapi saya masih tetap mencintaimu. Saya tak bisa mengukurnya, bahkan andaikan cinta benar bisa dibagi-bagi. Kau persoalkan tubuh, akh apalah bedanya! Itu hanya soal wadah saja. Jiwa kita yang tetap terpautlah yang penting." Ia menoleh kepada minumannya. Ia minum setelah sejenak memain-mainkan sedotannya.

Saya paling benci jika ia sudah mulai berfilsafat. Ia pasti punya banyak pembenaran atas lakunya. Filsafat, akh, saya juga tidak tahu filsafat macam itu. Bagi saya, jika sesuatu pembicaraan sudah membingungkan, sudah mulai bicara hal-hal abstrak, saya anggap saja itu sudah "filsafat." Dan kalau sudah behitu, selalu saya tak bisa menampiknya lagi. Begitu juga dulu waktu ia membawa cinta ke arah malam yang nakal. Satu-satunya yang kuingat setelah malam itu adalah bahwa saya menjalaninya dengan yakin, dalam, dan pengagungan cinta melampaui penciptanya sendiri. Cinta yang hakiki, katanya. Sejak itulah malam-malam kami, bahkan tak jarang di siang hari, di indekostku, cinta "hakiki" terus kami reguk.

Ia menggeser gelas di depannya, seolah memberi ruang untuk dirinya sendiri. Kami duduk berhadapan. Hela nafasnya tampak begitu berat.

"Kita sudah melalui banyak hal. Kita senang, tapi juga pernah bertengkar. Sejujurnya, saya senang sekali. Tapi kamu tahu, kadang kita harus memutuskan hal sulit dalam hidup untuk kehidupan selanjutnya itu sendiri. Saya mau bilang kalau kita akhiri saja hubungan ini. Bagaimana pun, kamu juga sudah tidak mempercayaiku ..."

***

Hanya itu yang bisa kuingat saat hubungan kami di tubir masa kala itu. Akh, sudahlah.  Biarkan saja. Kini, ia ada di depanku dengan wanginya yang setia. Jemari dan lengannya tak banyak berubah, kecuali sedikit berotot. Mungkin ia ikut gym. Ia juga masih mengenakan jam tangan pemberianku saat ia berulang tahun dulu. Apakah ia masih menginginkanku? Apakah ia sudah berpisah dengan dia yang membuat kami putus? Akh!

"Sudah sampai di mana?" Suara penuh harap itu terdengar di ujung sana. Saya menerima panggilannya setelah hapeku bergetar diam beberapa saat. "Sudah selesai belanjanya, Sayang? Nih, anak-anak juga sudah pada bangun. Mereka menanyakanmu." Suara lelaki di hapeku ini selalu membuatku ingin segera tiba di rumah, kapanpun ia meminta dan mencariku. Lembut dan penuh kasih, selalu mengalirkan kata-katanya dengan tatapannya yang melumatkan seluruh rasaku.

Aku bergegas melangkah keluar dari toko itu. Rengek manja anak-anak dan sapaan mesra suamiku seperti memanggil-manggil segera kembali.

***

Terik

Minggu, hari libur bagi mereka yang sepekannya sibuk bergelut bermacam aktivitas. Kita semua memiliki kesibukan masing-masing. Hari ini, saya berlagak seolah oranh sibuk, di luar hari Minggu.

Duduk di teras, melonjorkan kaki, menatapi pulau berbatas lautan. Tidore dan bayang Pulau Halmahera di pelupuk.

Selamat berlibur!

Etnografi

Etnografer dan jurnalis itu beda-beda tipis. Serupa dgn tugas-tugas investigatif reporter: mewawancarai orang-orang terkait (relevan), memeriksa rekaman, menimbang-nimbang kredibiltas opini antara satu orang dengan lainnya, melihat ikatan organisasi atau kepentingan tertentu, dan menuliskan ceritanya mengenai hal-hal yg menjadi perhatian publik. Perbedaan pokok di antara keduanya adalah jika jurnalis lebih melihat hal-hal yg tidak lazim (pembunuhan, tabrakan pesawat, perampokan bank), maka etnografer menulis tentang hal-hal rutin, perihal kehidupan sehari-hari dari manusia. Kira-kira beginilah kurang lebihnya dikatakan David M Fetterman.

Tapi melihat dunia bergerak akhir-akhir ini, rasanya tak ada lagi yang tak lazim. Semua menjadi tampak lumrah. Kecuali, waktu aku bilang bahwa aku mencintaimu! Lho?!

Kematian

Kematian

Tujuh hari lalu, kematian datang menyambangi tiga rumah dari tempat saya bernaung. Almarhumah, sang meninggal, adalah seorang ibu yamg ramah, senang mengobrol walau saya hanya berbelanja sebungkus rokok atau keperluan lainnya yang ia siapkan di warungnya.

Tujuh hari telah berlalu, sirine ambulans mengiang di kompleks kami. Suaranya membelah keheningan sore menjelang petang kala itu. "Siapakah yang meninggal?" Seseorang dari kami bertanya-tanya sebelum akhirnya tahu bahwa dialah alamarhumah, ibunda dari Pak Asep Gunawan.

Keramahan almarhumah kembali mencuat. Bayangan rautnya menguat. Terlintas senyuman dan sapaannya yang intim, hangat, dan selalu ada bahan obrolan walau sesingkat apapun perjumpaan. Setelah kematian, keramahan dikenangkan betapapun sepinya menyelubung sukma. Menerima kematian, kehidupan dihayati bersama kenangan yang menyertainya. Persinggungan dengan orang-orang sekitar, entah sekali atau intim, selama hidup, serupa jalan kembali di sisi kematian yang membawa pergi. Begitulah sehingga kematian memang hanya serupa tahapan perjalanan sang jiwa menuju jenjang lainnya. Ke tempat yang layaklah pada akhirnya arwah, jiwa, roh, didoakan mencapai ketenangannya. Begitu pulalah saya berdoa untuk almarhumah.

Tujuh hari sejak hari kematian almarhum, kami berkumpul di sini. Tetangga, sanak saudara, sahabat, kenalan, dll berkumpul sembari merapalkan doa, menggumamkan ayat-ayat Allah, memuja nama-Nya. Semuanya untuk satu pengharapan, keselamatan dan kedamaian untuk almarhumah di alamnya yang lain. Di sini, kami tenang khusyu - meski beberapa sibuk mengobrol juga, termasuk saya yang khusyu mengetik ini - meresapi kesadaran bahwa hidup pada akhirnya niscaya berjumpa dengan sang mati. Kematian hanyalah sebentuk kehidupan yang lain yang mutlak bagi mereka yang hidup.

Selamat jalan almarhumah. Tak ada lagi sapa dan obrolan hangat darimu kala  saya berbelanja. Saya, mereka, kami semua mendoakanmu, sebaik-baiknya doa.

Ternate, Tahlilan Dina Kematian Hari Ketujuh, 17 Feb 2016.

Metamorfosa

Serupa kehidupan yang kita lakoni, semua bergerak, beralih rupa, berubah, menjadi wajah lain atau bentuk berbeda dari sebelumnya.
Kebanyakan kita, jika bukan semua, ingin menjadi yang baik, terbaik. Jika pun belum tercapai begitu, jangan kecewa, putus asa. Teruslah mengolah diri.

Begitulah teman saya memandang dan bernasehat tentang hidup dan kehidupan. Saya tak menolaknya. Memang begitulah semestinya, gumamku.

Tugutil

Tugutil, Togutil, Tobelo Dalam, Orang Forest Tobelo, atau apalah disebutnya. Kepada merekalah tujuan langkah saya menuju hari ini. Entah eksotisme atau keperluan project, belakangan banyak pihak menyasar lagi komunitas ini dengan alasannya masing-masing. 

Kelompok masyarakat penghuni hutan Halmahera ini memang dikonstruksikan dengan berbagai cara. Unik, liar, primitif, tertinggal, adalah beberapa bentuk pemahaman atas mereka, di samping  wacana perubahan, meningkatnya interaksi dengan 'orang luar', modernitas, dll. Merekalah 'native people', 'alifuru', 'orang tempatan', yang merepresentasikan cara-cara hidup di daratan belantara Halmahera dari masa lalu ke masa kini.

Hari ini, perjalanan menuju komunitas tsb bermula hingga beberapa hari ke depan. Tas dipanggul, ikat sepatu dikencangkan. Deodoran jelas tidak terlupa! Hanya berbincang dan terlibat dengan kehidupan mereka sesampainya di sana. Selebihnya, ia akan mengambil ruang di antara barisan aksara, sebagai kenangan dan kesaksian. Jika sedikit beruntung, ia akan menjadi bahan laporan bermakna dari seorang pelintas tentang sekelumit fenomena sosial orang-orang di tepian rimba: rimba belantara dan kehidupan itu sendiri.

Malam

Menyulam malam dengan sunyi
bintang karam sepi merenda
cakrawala bisu dalam angin kelam
matamu tajam menikam musuh
memanjati tonggak-tonggak mimpi
melawan dirimu sendiri
dari mimpi-mimpi buruk bayanganmu
melagukan kidung tanpa bunyi
sebab suara-suara menjelma
nyanyi bisu penghiburan
menjadi dialog di malam hening
dengan kenyataan yang enggan bergeming
kita belum kalah
asa masih menyala
kita tidaklah salah
hidup mesti dibela
malam jangan lelah
esok tetap melangkah
tegak tak pernah goyah
merenda malam dengan cinta
dan musuhmu, enyahlah.

Cerita bisu ibu

Masih lekat terbayang, jika bukan mengiang, harapan dua orang ibu dalam perbincangan kemarin malam. Kepala desa menggelar pertemuan melibatkan warganya. Usai pertemuan itu, kami berbincang. Mereka menceritakan tentang anaknya yang kini sedang kuliah.

Biaya kuliah anaknya ditanggungnya sendiri. Keduanya sudah bercerai. Biaya anak-anak semuanya menjadi kewajibannya sebagai seorang ibu. Ia berusaha sebaik-baik mungkin menunaikan tanggung jawabnya sebagai orang tua. Keduanya mengandalkan hasil kebun untuk membiayai kuliah anak-anaknya. Kelapa (kopra) adalah sumber utama penghidupan keluarganya. Ada juga hasil tanaman bulanan serupa sayuran atau umbi-umbian yang jumlahnya tak seberapa.

Memang sulit, tapi semua harus diusahakan, dipenuhi. Anak-anaknya menginginkan kuliah, meski ia sudah memperingatkan karena masalah biaya. Jika kelapa usai dipanen, sedikit saja ia sisihkan dari hasil penjualannya. Sebagian besarnya dikirimkan kepada anaknya yang kuliah di kota. Biaya buku, makan minum, indekost, dll untuk anaknya harus dipenuhi. Jika kebetulan sedang tak ada uang yang siap, ia mengutang dulu. Semuanya untuk anak-anak.

Di balik itu, ada harapan tersematkan. Kelak ketika anaknya sukses menyelesaikan kuliah, ia memiliki satu harapan kuat. Anaknya bisa jadi guru! Jurusan anaknya, begitu ia bilang, masih kurang di kampungnya. Kelak ia bisa mengajar di SMA.

Baru-baru ini anaknya mengabari. IPK anaknya menurun dari semester sebelumnya. Alasannya, gara-gara seorang dosen memberinya nilai rendah. Dosen, akh dosen... Selain itu, kata anaknya, karena belum punya laptop. Tanpa laptop, tugas-tugas tak bisa dikerjakan dengan baik. Begitu anaknya bilang kepada ibunya, sebagai ia menutur-ulangkan kepada saya. Oh, laptop...

Sang ibu mendengarkan alasan anaknya, memenuhi permintaan, sembari merawat harapan. Kelak anak-anaknya bisa menghibur dirinya dengan bekerja sebagai guru, PNS. Di Halmahera masih kekurangan guru. Ia meyakininya begitu, sekokoh peluang anaknya bisa mencapai harapannya.

Malam melarut, kerut di wajahnya membentang beban sekaligus menggurat harapan. Ibu dan anak dipautkan satu asa serupa, meski tak sama dalam menghayatinya. Ibu mengupayakan terbaik dan membalurinya doa-doa, anak berkilah.

Ibu-ibu (kita) memang tak diragukan ketegarannya. Mereka kuat. Bahkan, ketika kita dengan sadar memberinya alasan-alasan mengada-ada untuk sesuatu yang diada-adakan oleh anaknya yang ia adakan itu. Akh, ibu...

Salah Kaprah

Akan kuceritakan kepadamu. Sebuah hotel, katanya, sepi pengunjung. Ber-AC, tapi tak berfungsi kala siang. Begitu juha tivinya. Listrik padam. Seisi kamar tampak kusam. Berdebu. Terletak di tepi pantai, suara AC nya serupa hempasan ombak. Bunyinya menampar-nampar pagi. Pintu kamar mandi tak bisa dikunci. Tak ada kopi, atau apapun untuk menyambut pagi. Di resepsionis, meja dan perabotannya berantakan. Berdebu juga. Cocok untuk syuting film horor, kata teman saya.

Apapun yang kuceritakan ini, bukanlah hal baru. Apalagi di tempat-tempat jauh semacam ini. Ini juga tak perlu diprotes. Bukankah semua indah jika dinikmati?

"Dulu tempat ini ramai. Pengunjung keluar masuk. Kini hanya satu dua kamar terisi dalam seminggu. Perusahaan tambang tutup, karyawan banyak diberhentikan." Seorang lelaki, satu-satunya pekerja di tempat ini, menjelaskan. Alam kembali disalahkan.

Jadi ingat salah iklan di tv. Inilah ceritaku dari Halmahera.

Perjalanan Pengalaman

Selalu begitu. Setiap perjalanan menyematkan pelajaran. Senyata kehidupan yang kita jalani, perjumpaan dengan rupa-rupa kenyataan menambahkan mozaik kehidupan itu sendiri. Pengalaman menumpuk dihayati, bukannya ditampik. Tak perlu menyimpannya ke dalam kotak-kotak analisis. Mengalir begitu saja untuk berbagai kesaksian. Menyimpan semuanya baik-baik untuk esok yang mungkin merindukan aroma lumpur tepi sungai, lembab ilalang basah, gatalnya dedaunan, dan goresan di kulit kita. Jiwamu juga perlu nutrisi. Berilah makan tentang ingatan murninya semesta.

Buli, Halmahera Timut, Feb 2016

Kajang

Cerita, kisah, itu juga bisa menjadi semacam jalan tapak di batinmu untuk kembali ke kampung halamanmu. Dan, syukurnya teknologi bikin perjumpaan tak harus benar-benar berjumpa, untuk sekadar bercerita. Maka, pantaslah saya menuliskannya di sini, setelah tuturanmu yang campur aduk itu.

***

Jalan tanah becek kala hujan. Jejak sapi atau kerbau ternak warga kampung jelas menancap lumpur. Pohon rimbun kibaskan angin. Sejuknya mengalir. Sapa santun dan sikap tabik didapatkan dari warga tatkala berpapasan. Tak perlu membeli buah-buahan dari mereka jika ada yang disukai. Cukup memintanya, mereka akan memberikannya. Berlantaikan bilah bambu yang dijalin dengan rautan rotan, dijamulah kita di rumah mereka. Dinding rumah dari papan seadanya. Asal raga terlindungi dari terbukanya alam dan tak terlihat oleh orang lain dari luar, cukuplah itu sebagai rumah. Meski begitu, berbaik-baiklah sebaik mungkin kepada semua orang: anak-anak, orang tua, laki-laki, perempuan, kaya, miskin, pejabat, rakyat jelata, pejabat, perampok, dll, sebab merekalah jembatan kita menjalani kehidupan sekarang dan kelak di kehidupan yang lain. Tak perlu mewah, sekadarnya saja, bersahaja, hidup di dunia ini. Berlimpah sekarang, kehidupan berikut serba-kekurangan, jika bukan siksa. Begitulah mereka memandang dan menjalani kehidupan sekarang dan untuk nanti. Kamase-mase, filosofi hidup tentang kebersahajaan dalam pandangan dan praktik orang Kajang. 'Ammatoa' adalah pemimpin di komunitas ini, terutama menyangkut adat istiadat dalam kehidupan sosial kemasyarakatannya. Itulah sekelumit: lingkungan alam dan budaya, orang Kajang yang bisa saya tuliskan di sini.

Saya juga berasal dari sana, Kajang, meski hanya menumpang pada ke-kajang-annya sebagai kecamatan: Kecamatan Kajang. Kajang yang saya bicarakan di awal adalah kajang yang sesungguhnya. Mereka juga kerap digambarkan, oleh orang luar, dengan cara yang lain.

"Orang Kajang gemar berpakaian hitam. Baju, celana, dan kain di kepala semuanya berwarna hitam. Ilmunya tinggi. Maksudnya, perihal ilmu supranatural. 'Baca-baca' atau 'doti', begitulah disebutnya. Tak mempan senjata tajam. Kebal. Bisa menghilang dari pandangan kasat mata. Berselisih atau menyinggung harga dirinya, 'doti' melayang. Sakit atau bahkan hingga mati, menjadi akibat yang mesti ditanggung, jika tak bertemu dengan pengobatnya. Tentu saja ia mesti menguasai ilmu serupa juga. Kepala melembek atau kematian tanpa penyebab jelas, adalah dugaan awal, meski kuat, terkenanya seseorang oleh mantra itu. Mereka ganas, terpencil, menutup diri, dan menolak kemajuan (teknologi, misalnya listrik) demi mempertahankan cara hidup yang diyakininya, hidup yang bersahaja."

Tentu sangat banyak yang bisa digambarkan tentang mereka, seluas dan serumit cara pandang dan praktik hidupnya. Tidak semua gambaran, oleh orang luar, tentang mereka itu benar. Bahkan, ada banyak gambaran yang disematkan pihak lain, benar-benar tidak-benar adanya. Itu malah meminggirkan keagungan mereka di tengah serbuan kehidupan pragmatis, senang memanfaatkan kesempatan atau jabatan, kemunafikan, gemar pamer, menerabas, dan banyak lagi kegilaan zaman ini. Saya tak menyumpahi zamannya, tapi saya mengutuki kita yang menanggapi zaman dengan cara-cara tak tepat. Itulah sebabnya kadang saya mengutuki diri juga.

**
Dikenal 'berilmu tinggi' tidak sedikit orang yang takut kepada orang Kajang. Tentu saja mereka mendapatkan pengetahuan yang kurang memadai tentang mereka. Saya punya satu pengalaman sebagai orang Kajang dalam pandangan 'orang luar'.

Sebut saja Dian, bukan Dian sesungguhnya. Rambutnya sedikit ikal bertengger di atas mata indahnya. Kulitnya kuning tak kalah dengan sawo yang sedang matang-matangnya. Kalau tersenyum, wajahnya benar-benar berbinar. Giginya memang tak rapi, meski itu malah membuatnya makin manis. Bicara perawakan, body, ia sungguh sentosa. Kalau berjalan, pinggulnya memang pantas ditatapi selayak hayal melambung tinggi. Saya tak malu memandanginya sebab memang hanya diam-diam. Kami sekelas di SMA. Tulisannya tangannya rapi. PR-nya selalu kelar dari rumah, namanya juga Pekerjaan Rumah. Tidak juga, sebab ada yang mengerjakannya nanti di sekolah ketika pagi-pagi sekali, sebelum lonceng masuk kelas berdenting. Saya juga biasa begitu. Karena duduk di bangku sebelahnya, makanya saya tahu persis keindahan tulisannya. Meski begitu, Dian termasuk siswa yang pendiam, bahkan pemalu (bukan pemakan lumut!). Intinya, Dian adalah siswa yang memikat. Sayalah yang paling terpesona olehnya kira-kira.

Tak kuat menampik gelora, cinta, atau katakanlah begitu, saya mengutarakan rasa. Saya menyukaimu! Singkat saya menyatakannya. Tanpa kata, tiada tanggapan menggembirakan, ia berlalu. Ia memang tampaknya tak mau, atau belum mau, berpacaran saat itu. Saya sendiri hendak  menjadikannya cinta pertama jika ia sepakat melangkah bersama.

Dian, yang pemalu itu, selalu menarik sebagian besar rasa kagumku, bahkan ketika kami terpisah kelas. Ia mengambil Biologi, saya Fisika. Tapi itu bukan penghalang untuk rasa yang menumpuk-numpuk dan membuncah tatkala sosoknya Dian menguat. Hayalan dan kenyataan sering sama nyatanya. Itulah sebabnya kupanggil ia 'Dian.' Ikat rambut dari bahan berkaret lebih sering berwarna pink. Roknya abu-abu pudar, tidak seabu-abu rok atau celana SMA kebanyakan. Di atas betisnya yang putih, abu-abu tampak seksi. Saya jelas melihatnya begitu, meski ia sekadar melintas.

Tanpa jawaban, kami tamat. Masa sekolah SMU berakhir dengan kelulusan kami. Kuliah di universitas yang sama, kami tetap terpisah. Jurusan kami beda. Hingga sarjana, tetap begitu. Sesekali saya masih melihatnya. Itu pula menjadi jawaban atas pernyataan saya yang telah bertumpuk masa itu. Ia berjalan, dengan mesra pula, seorang lelaki lain. Dian berpacaran. Meski tak sampai patah hati, tapi saya jelas kecewa.

Terakhir, melalui akun media sosial, ia bertutur. Ia 'menjawab' yang dulu saya nyatakan. Sebenarnya ia tak mesti menjawab, sebab saya tidak bertanya. Ia sebenarnya sedang beralasan untuk apa yang ia telah lakukan.

"Sebenarnya saya juga menyukaimu. Hanya saja, waktu itu saya belum siap berpacaran. Manakala siap, saya justru berjumpa dengan lelaki lain. Saya tahu, kamu orang Kajang. Saya takut. Katanya orang Kajang senang 'membaca-bacai' orang lain. Memikat dengan mantra. Kalau salah paham, misalnya berpacaran lalu putus, bisa celaka sebab ilmu hitamnya. Ketika saya menceritakan tentangmu sebagai orang Kajang, sahabat-sahabat saya ngeri. Itulah makanya saya sering menghindar darimu, kala itu. Jika tidak, saya bisa menerimamu. Sebab saya juga menyukaimu."

Saya ragu dengan kebenaran tanggapannya yang datang setelah melintasi lapisan masa itu. Bahkan, jika benar sekali pun, apalah artinya. Tidak apa, sekarang kita memiliki kehidupan masing-masing.

Satu yang jelas tersisa setelah pengakuan Dian itu adalah alasannya yang menyebut saya sebagai orang Kajang, sekaligus menjadi penolakannya. Suatu cara pandang dan tanggapan yang benar-benar keliru. Saya lelaki baik, memiliki cinta murni, serius penuh, total seluruh, dan saya bisa menjamin setia tanpa syarat. Sebagai hasrat yang bergelora tulen, ia hadir semurni-murninya rasa. Memang tak mudah menjadi orang Kajang.

***

Semua berubah. Seiring waktu, beringsutlah kehidupan. Perkembangan meloso hingga ke pelosok. Orang Kajang melangkah maju. Atau, mereka yang dikunjungi kemajuan, dan terpaksa maju. Anak-anaknya bersekolah hingga tinggi. Ada pula yang sudah jadi pejabat, atau setidaknya menapak jalan menuju ke kepejabatan. Karena itu, gambaran tentang mereka, sebagai di awal, mungkin sudah tak banyak lagi benarnya. Malah bisa jadi salah semuanya. Bahwa saya ditolak sebab disangka sebagai orang Kajang sesungguhnya (oleh Dian yang bukan sesungguhnya!) itu memang sungguh-sungguh sangat benar adanya.

***

Malam kian larut. Kamis malam berlalu ke Jumat. Kawan, ceritamu mengenangkanku pada pengalamanku sendiri. Kita memang orang Kajang, meski tak sepenuh-penuhnya. Di seberang sini, ceritamu mengantarkanku pada kampung dan orang-orang di sana. Saya merindukan semuanya. Sampai jumpa di kampung!

***

Ternate, 4 Maret 2016

Gerhana


Baiklah, mari kita bicara - sedikit saja -  tentang gerhana. Sebagai fenomena alam, tak ada yang luar biasa dengan sang gerhana ini. Tak peduli ia sebagian atau seluruh (total), terjadi puluhan atau ratusan tahun, ia tetaplah gejala alam belaka. Gerhana matahari total.

Adapun ia 'luar biasa' sebab kita menanggapinya begitu. Kita (manusia) meresponsnya dengan berbagai cara, termasuk untuk banyak kepentingan.

Banyak mitos menyelubunginya. Dulu, ketika masih anak-anak, di tahun 1983, ia datang. Jendela  rumah ditutup, kami dilarang menatap langit, bahkan untuk sekadar mengintip keluar. Selain alasan kebutaan, ada juga cerita tentang hantu-hantu dll. Kini, untuk alasan ilmiah (sains), banyak ahli/peneliti bergiat. Mulai dari analisa kenaikan suhu bumi karena jaraknya lebih dekat dari matahari dibandingkan di waktu lain hingga radiasi matahari yang dapat merusak retina mata kita dilakukan untuk menguji atau membuktikan kebenaran sains. Teman saya, sejak beberapa waktu lalu sibuk memasang alat pengukur pasang-surut air laut. Riset untuk kepentingan ilmu pengetahuan ini tentu penting untuk kemajuan jagad pengetahuan itu sendiri.

Ternate, salah satu kota dengan gerhana matahari total nanti pada 9 Maret 2016 ini. Turis berdatangan ke kota ini, katanya sudah mencapai dua-ribuan demi menyaksikan fenomena ini. Tim Nasa sendiri sudah tiba di Maba, Halmahera Timur. Lalu, pemerintah daerah di sini seperti 'kelabakan' menyambut kedatangan para turis/peneliti. Atraksi pariwisata rencana digelar. Beberapa properti atau lokasi dibangun sesegera mungkin. Berpacu dengan waktu! Ini respons yang 'luar biasa' sebab kita terkaget dan terburu dengan cara yang tak lazim.

Kemarin, teman saya melahirkan. Ia memberi nama anaknya Gerhana. Seorang teman lain lagi, saya dengar ia menamai kucing peliharaannya dengan Gerhana pula. Wajar saja.

Ada banyak cara kita mengenangkan, mengadaptasi, mengabadikan momen tertentu dari semesta tempat di mana kita memperoleh, merawat, dan memperkembangkan kehidupan ini. Sebab kota ini telah di-booking tempat-tempat penginapan atau hotelnya, maka bisa dipastikan kesulitan mendapatkan tempat serupa bagi mereka yang terlambat. Tapi tak usah cemas, hati saya cukup lapang untuk menampung berapapun kedatangan. Lho?!
Gerhana, saya menunggumu, di sini.

Curah Gagasan a la FIB Unkhair

*** Banyak yang Harus Dilakukan (Catatan dari ‘Bacalefo’ Ormawa FIB) *** Kebajikan mesti dikabarkan agar tetap bisa ditularkan...