***
Ketika subuh perlahan merambat dan pasti mengantarkan pagi dengan riuh kicau burung dan hiruk-pikuk, aktivitas orang-orang seperti menembus dinding memenuhi rumah-rumah, benak yg sesak tapi tak penuh-penuh. Ingatan dan bayang yang berkelebatan tetap sama meski setiap saat terus mengolah diri menjadi masa lalu. Masa depan terus mengisut menjadi masa kini, dan lantas segera menjadi masa lalu.
Di dalam ruang bergolaknya sang waktu ketenangan menjelma kegelisahan pada setiap ingsutannya. Malam-malam murni seolah cemar oleh bayang yg diharapkan tapi tak nyata-nyata. Sang benak yg dijinakkan, atau dicoba dijinakkan, keliarannya makin menjadi-jadi. Di permukaan semua terlihat tenang. Tapi siapa sangka di kedalaman ada gejolak yg mendidih-didih.
Siang tiba, dan pikiran masih sama yg kemarin. Satu dua perbincangan teringat-ingat bukan cuma satu dua kali. Seperti chip yg benam dalam otak, ia menyimpan semua obrolan di dalam memori tak terhapuskan. Perbincangan yg membangkitkan semangat dan menumbuhkan harapan adalah daya yg membangkitkan hidup. Ketika semua melampaui batas imaji—adakah imaji yg berbatas?—semua seperti tak terkendali. Kuasa diri malah dikuasai oleh kuasa lain yg tak terkuasai. Siang berbeda, tapi benak masih sama isinya dengan siang yg kemarin, dan siang-siang sebelumnya.
Aku bertanya kepadamu:”Apa artinya perbincangan-perbincangan jika setelahnya benak tak bisa henti dan lelap—yg seharusnya dibawa oleh sang tidur—seperti menjadi jauh?”
Waktu terus berjalan, dan rupa-rupa di benak seperti tak bersalin, tak berganti. Ia tak benam oleh masa. Di dalam benak, waktu dan jarak bagaikan nihil. Itulah berkahnya menghayal, atau tepatnya menghayali kamu. Tapi semudah dan seindah-indahnya berfantasi, tetap saja nyata jelas lebih bagus. Itulah kenapa di ujung hahal selalu menyisakan penasaran. Sebab faktanya kita hidup di alam nyata. Itu pula sebabnya kita seperti mengemban tugas dari dan oleh diri sendiri untuk mewujudkan semua itu.
Tapi puisi cinta tak dibaca. Sementara surat-surat belum juga rampung ditulis. Hanya lukisan wajah dan bayang masa depan denganmu yg tegas, meski, sekali lagi, semua di benak belaka.
Sudah pernah aku bilang kepadamu tentang satu niat baik dengan segala niat-niat ikutannya. Bahwa aku tulus dengan semua itu, tentu seharusnya tak perlu dikatakan. Tulus tergerus oleh ucap. Biarlah tulus menceritakan dirinya sendiri. Ketulusan yg kerap dimetaforkan sebagai lilin. Tapi aku tak memilih menjadi lilin. Itu terlalu fatal menurutku. Maka aku memutuskan ingin menjadi napas hidupmu. Mungkin kelak aku menyerah pada akhirnya, tapi belum saat ini. Bukan sekarang waktunya.
Tak padam semangat yg sedang berkobar-kobar hanya oleh satu dua pengabaian. Pengabdian ini terlalu kuat untuk dilemahkan. Pemujaan terlalu besar untuk diciutkan.
Tahukah kau di mana batas perjuangan untuk menyerah, atau disebut menang?
Aku tidak tahu. Maka beritahu aku jika kelak bisa menerangkannya kepadaku dengan cara yg masuk akal. Aku rasa hatiku telah kau rasuki sangat dalam sampai tak bisa lagi rasional tentang batas-perbatasan. Segala telah teretas. Anehnya, aku menikmatinya.
Mengapa kamu begitu tegar merawat harapan, sedangkan bayangan pun hanya datang dan pergi? Tanyamu ketika senja mulai pajangkan jingganya ketika lazuardi beranjak pelan.
Tanpa harapan, sedetik pun kau tak bisa hidup.
Dalam hamparan kehidupan terbentang pilihan begitu banyak. Aku tak mau serakah. Cukuplah bagiku memilih satu. Aku rasa, satu ini pun sudah meliputi semuanya. Begitulah aku bersyukur. Bagiku, kamu, yg intim dalam benak ini, sudah mencakup semua yg pernah ada dan yg akan ada.
Akh, kamu berlebihan. Hanya karena sedang tertawan oleh dia yg terpuja, tak berarti kamu kehilangan akal sehat. Begitu sanggahmu.
Tapi kenyataannya aku tidak gila. Kewarasankulah yg memujamu. Segalanya sudah kupertimbangkan matang-matang.
Tapi kedengarannya kamu sedang begitu.
Itulah sebabnya niat baik selalu beradu dengan niat lain beserta penyangkalannya. Kamu selalu mencurigainya. Mestinya kamu menjadi diriku, bahkan cukup dengan sedetik saja, agar kamu bisa pahami yang aku alami. Sulit kau mengerti jika tak mencoba berempati.
Kau sulit membedakan antara takdir, yang dalam keyakinanmu melibatkan kuasa sang mahakuasa, dengan hasratmu sendiri. Kau menolak yg datang dengan memgatasnamakan sang penguasa segala kuasa. Seolah pikiranmu terhubung penuh, lalu semua keputusanmu adalah sesuai dengan rencana dan keinginan sang mahakuasa. Kau harus singkirkan buruk sangka, yg tidak kau sadari itu, untuk melihat kejernihan dari yg kau sangkakan kerancuan itu.
Lalu bagaimana kau bisa meyakini bahwa niat, yang kau sebut niat baik itu, sebagai sesuatu yg murni, jernih, tulus, dan tunggal tak berkesudahan?
Kita semua memiliki batin. Berjiwa. Kita bersukma. Hati kita bisa berkata. Kalau kau memgenal dirimu dengan sangat baik, maka kau akan tahu mana yg mengakar dan sekadar menempel. Kau akan bisa membedakan mana yang dibutuhkan atau sekadar berpuas-puas hasrat.
Jadi, masihkah keras kepala juga? Renungkanlah lagi. Selalu ada jeda dalam laju kencang sang waktu. Gunakanlah untuk berbincang dengan jiwamu sendiri.
Beri aku waktu.
Waktu? Bukan hanya waktu, selurih diriku pun akan berikan.
Kesempatan. Maksudku, kesempatan.
Itu juga. Apalah yg tak bisa untukmu. Semua kesempatanku menghamba kepadamu. Kamulah yg menentukan segala peluangku.
Aku bukan tuhan.
Memang. Tapi aku kadang tak bisa membedakannya. Kau membawa-bawanya ke dalam semua ucapan dan keputusanmu. Sepertinya tuhan sia-sia memberimu akal sebab kamu mengistirahatkannya setiap kali berhadapan pilihan.
Jangan menghakimi. Kamu juga jadi terdengar seperti hakim.
Kamu juga telah menghakimiku lebih dulu dengan menetapkan ketidaklayakanku atas hayalan dan harapan yg melibatkanmu.
Kamu menghakimi lagi.
Kapan dan di mana aku bisa tepat? Di hatimu pun aku tak kebagian ruang.
Itu terlalu jauh melenceng. Jangan memaksakan perdebatan ke arah yg keliru, meski kau sangat menginginkan begitu.
Apakah mencitaimu itu suatu kekeliruan?
Mungkin.
Katakan dengan tegas.
Barangkali.
Kau makin mahir.
Mahir apanya?
Bermain-main. Tapi tak apa. Perasaanku sudah intim dipermainkan oleh bayanganmu.
Jangan terlalu membayangkan. Diikuti bayangan itu akan membuat hidupmu serupa laknat.
Tapi lari dari bayangan juga itu hianat.
Kalau begitu buatlah hidupmu nikmat.
Maka kemarilah!
***
Fajar benar-benar berlalu. Pagi rekah dan mentari mengirimkan sinarnya dari celah pepohonan. Itulah saat kau pergi dengan kisah yg telah kau bagikan. Pengalaman yg terendapkan lapis-lapis masa.
Sudah terang. Saya harus balik. Begitu katamu.
Diam-diam kusimak kisahmu. Aku malah menemukan diri dalam kisahmu. Mengambang.
Ternate, 22 April 2018.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar