La Cundekke
***
Sebenarnya saya sedang jatuh cinta! Memang itulah kenyataannya. Bukan karena sedang tak tertarik dengan berita-berita politik, yang perbincangannya diisi oleh orang-orang yang saling mencerca. Hujatan seolah merajai perbincangan. Sementara pujian semakin langka saja tampaknya. Cinta entah ke mana…
Aku memilih cinta sebab begitulah seharusnya memang. Cinta itu tak sekadar perasaan meluap-luap. Ia juga bukan hanya keinginan yang terpenuhi –yang kalau ditolak lantas membenci. Ia adalah kemurnian yang tak bisa cemar oleh apapun. Tidak akan kusam berapa pun lamanya dipendam.
Maka, kepada La Cundekke—anggap saja namanya begitu. Itu yang terlintas di benakku saat bermaksud menyamarkannya—saya pernah berbagi hikmah.
“Saya tak bisa melupakannya, bahkan sampai ia menolakku,” katanya terdengar putus asa. Saya sarankan untuk mencoba jatuh cinta pada yang lain. La Cundekke menampik. Pelan-pelan digaruk juga kepalanya dengan mata sedikit mengerling. “Kau tak yakin, Cowok!” batinku.
Di tengah keterpurukannya, ia memutuskan hal lain lagi. “Saya akan tetap mencintainya. Tak perlu ia tahu,” lanjutnya sambil terus menuturkan betapa ia sulit meninggalkan perasaan yang ia bangun sendiri. “Seperti Qaiz kepada Layla,” katanya.
“Siapa itu? Anak mana?”
Ia tak menjawab, malah berkemas. Ia pergi meninggalkan saya begitu saja. Entah marah atau ngambek (apa bedanya? Hehe…) tapi sejak pergi tanpa pamitnya itu, saya tak mendengar kabarnya lagi. Di media sosial—yang kata teman dengan mudahnya ‘menemukan’ teman ygtak pernah ia bisa sangka-sangka—La Cundekke tak berjejak.
***
Musim politik bersemi. Semua berbunga-bunga, serupa janji yang bermekaran. La Cundekke muncul setelah sekian lama ia menghilang kayak ditelan bumi. Semakan ganteng saja ia. Kumisnya tipis klimis. Pinngirannya lurus seperti habis dimistar. Dandanannya kini manis pokoknya. Badannya juga sedikit menggemuk—tapi masih proporsional. Sekilas, ia tampak sukses. Setidaknya bisa diduga begitu.
Mungkin juga ia sudah menemukan subjek cintanya yang lain. Mungkin!
“Ternyata mudah saja mencapai cinta!” kini suaranya lantang, penuh percaya diri.
“Hmm.. Iyakah?”
“Siapa (cintamu) kini?”
“Masih itu, tetap itu.”
“Baguslah. Akhirnya kamu disatukan juga.”
“Bukan begitu.”
“Maksudnya?”
“Saya sudah berhasil menaklukkan perasaanku sendiri. Saya cukup ‘menikmatinya’ sebatas pandang. Ia tak perlu tahu. … dan kini saya tidak segelisah dulu.“
Rasanya tak ada yang baru darinya. Kecuali percaya dirinya, La Cundekke sama saja sebelum ia pergi lama tak berkabar.
“Begitu saja?!?"
“Akh, kamu tidak mencermati ceritanya!”
“Oh, iya, iya… “ Saya berlagak paham. Mengumpat juga saya dalam hati. Saya lalu teringat para pendebat yang ahli menghujat. Tiba-tiba saya seperti menemukan mereka semua dalam diriku.
“La Cundekke!”
(Tapi saya memuji ‘kesetiaanmu’ mempertahankan sesuatu yang justru tak mempedulikanmu!)
Selamat beristrahat, La Cundekke! Selamat menghibur diri ...
Ternate, 11 April 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar